Angin malam tak pernah malu berebut untuk menerobos masuk di cela-cela jendela kamar. Udara begitu dingin hingga mampu menyatukan keheningan dan kerinduan. Para manusia mungkin sudah beristirahat dari hiruk-pikuk kehidupan. Tetapi di sudut kamar, Kasih masih saja terjaga. Rasa kantuk tak kunjung menghampirinya meski jarum pendek di jam dinding sudah menempati angka dua. Ia masih saja memikirkan beban-beban hingga memenuhi isi otak kecilnya itu. Pagi tadi, lagi dan lagi Ibu kembali memintanya pulang. Entah ada gerangan apa, tak ada hentinya Ibu selalu mengutarakan hal itu. Sebagai anak semata wayang dialah yang harus mewujudkan angan dan harapan orang yang telah mengenalkannya pada dunia.
“Nduk, kamu lah pulang ya. Ibu di rumah juga butuh kamu, apa yang belum selesai disana segera diselesaikan, jangan lama-lama,” Kasih hanya mampu terdiam, air mata tak tertahan menerobos pelupuk matanya. Ia sendiri tak ingin lama-lama disini. Namun nyatanya, ia sendiri belum bisa menyelesaikan hafalan Qur’annya dalam masa yang singkat.
Percakapan yang yang terjadi lewat telepon itu membuat ia tak bisa tidur. Bagaimana tidak, Kasih sudah tiga tahun berada di salah satu pondok pesantren berbasis Qur’an terbesar yang terletak di Pulau Jawa. Semua hal itu dikarenakan jalan yang ditempuh Kasih sedikit berbeda dengan kebanyakan orang, dimana kebanyakan mereka melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi. Tetapi Kasih malah memilih mondok dan memutuskan menjadi seorang penghafal Al-Qur’an. Pilihan ini bukanlah keinginannya semata, namun hal ini adalah pinta sang Ayah. Mulanya Ibu setuju-setuju saja dengan syarat Kasih mampu menyelesaikannya dalam jangka waktu yang singkat.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat pulang ternyaman kini justru menjadi tempat yang tak henti-henti memberikan tekanan. Kasih sudah berusaha sekuat tenaga, tetapi takdir selalu berkata lain.
“Loh kamu kok belum tidur Sih, sudah jam berapa ini.” Ucap Syarfa, teman dekat Kasih di pondok pesantren dimana ia memulai kehidupan menjadi seorang santri. Ia tiba-tiba terbangun karena tenggorokannya terasa kering dan berniat mengambil segelas air dan minum, tak dikira malah melihat Kasih yang masih saja merenung dengan memegang mushaf Al-Quran.
“Iyah Fa, habis ini tidur,” ungkap Kasih dengan menahan air mata tanpa menghiraukan perkatan temannya itu, ia tetap saja diam tanpa ada pergerakan yang menunjukkan ia akan tidur. Dengan langkah gontai karena kantuk Syarfa mendekati Kasih, tak tega melihat teman dekatnya larut dalam kesedihan hingga air mata Kasih tumpah dipelukannya.
Hati Syarfa pilu, campur aduk memikirkan bagaimana Kasih bisa tenang dan berhenti terisak karena beratnya beban yang ia tanggung. “Ditenangkan dulu hatinya Sih, aku tau awakmu ki bocah kuat. Allah ga akan memberi beban melebihi kemampuan hamba-Nya loh. Kasih harus kuat ya,” ucap Syarfa dengan menenangkan Kasih, membuat Kasih beringsut tenang menghentikan tangisnya.
“Sudah ya tidur dulu, pikiran yang ga baik dibuang dulu Sih. Besok masih ada kehidupan, jadi jangan larut dalam kesediahan ya.” Syarfa kembali menghibur agar Kasih lekas tidur dan menghentikan tangisnya.
Tak lama, Kasihpun terlelap dalam keadaan letih karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Beban-beban yang dititipkan dalam punggung kecilnya biarlah beringsut dengan sendirinya.
***
“Kalamun Qodimun Laa Yumalu Samauhu, Tanazaha an Qoulin Wa Fi’lin Wa Niyatin,” sayup-sayup terdengar syair bersamaan dengan embun pagi yang begitu menyejukkan. Kasih sudah bangun sejak Shubuh tadi, tangisnya telah usai kini tinggal semangat yang menggebuh dalam dirinya untuk membuktikan pada sang Ibunda bahwa dia akan segera menyelesaikan amanah yang diembankan pada dirinya itu.
Seberapa kejamnya kehidupan, bagi Kasih tetap ada fase terindah yang akan mengisi bagian dari cerita hidupnya. Hadirnya Ibu yang selalu meminta pulang mungkin salah satu dorongan agar dia segera menyelesaikan amanah yang sedang dipercayakan padanya.
“Kasih, seberat apa jalanmu nanti Nak. Ingat Allah selalu membersamai hamba-Nya. Jangan pernah merasa kamu sendirian Nak,” pesan Ayah kala itu. Menjadi pegangan kasih untuk melanjutkan hidup.
Pada akhirnya, meski Ibu tak pernah memberikan dorongan semangat pada Kasih. Tetapi ia percaya bahwa di setiap sepertiga malam Ibu selalu melangitkan do’a terbaik agar anak bisa bahagia di dunia yang tak selamanya mudah dan menyenangkan.
Oleh : Nazwa Aghnia
Tinggalkan Komentar