Info Pondok
Minggu, 21 Mar 8128
2 Maret 2025

Mutiara Ramadhan

Minggu, 2 Maret 2025 Kategori : Cerpen / Karya Santri

“Besok resmi ditetapkan sebagai awal bulan Ramadhan.”

Sorakan ramai terdengar di seluruh penjuru aula. Seluruh santri kian bergembira akan datangnya bulan Ramadhan yang disiarkan lewat proyektor pada maghrib kala itu. Dengan ditemani abah sang pengasuh, para santri senior disegerakan untuk menghadap beliau. Bagaimanapun juga pemilihan imam shalat

Saat ini Fayyed, Kafa dan juga Haidar sedang menunggu abah kiai datang di ndalem. Setelah beberapa menit menunggu akhirnya sang gurupun datang menghadap. Umur yang tidak lagi muda membuat beliau kesusahan untuk memimpin shalat. Maka dari itu dijadikanlah santri-santri seniornya sebagai badal.

“Jadi bagaimana? Apakah sudah ada nama yang kalian ajukan untuk nanti?” tanya Abah. Ketiga santri senior itu kompak menggeleng. Abah terdiam untuk waktu yang lumayan lama.

Saat berada di tengah diamnya sang guru, Fayyed merasakan hal aneh. Biasanya abah tidak akan berpikir lama untuk menunjuk dirinya sebagai imam. Tapi kenapa abah belum juga membuat keputusan?

“Kafa, kamu tahun ini jadi imam shalat tarawih ya.”

Semua yang ada di ruangan itu kompak terkejut. Termasuk Fayyed. Dia merasa bahwa Kafa ini belum ada apa-apanya jika dibandingkan dia dan kedua temannya yang ada di sini. Mondok juga baru dua tahun. Berbeda dengan dirinya yang sudah delapan tahun nyantri.

Masalahnya, menjadi imam tarawih itu tidak main-main  dan tidak semua orang bisa. Karena harus mengimami santri dan juga masyarakat setempat, mengingat jika pondok yang dibuat Fayyed belajar adalah pondok yang besar.

“Tapi abah, Kafa kan baru-“

Abah mengangkat tangannya saat Fayyed ingin protes. Pandangan abahpun sama sekali tidak tertuju ke arah Fayyed dan malah selalu tertuju ke arah Kafa yang dari tadi terus menunduk. “Dipersiapkan ya Kafa. Surat pendekpun tidak papa.”

Kafa mengangguk pelan.

“Sudah selesai. Semuanya boleh pergi. Untuk Nak Fayyed abah minta tolong meja buat ngaji dibersihkan ya.”

Semuanya pergi kecuali Fayyed yang memng disuruh untuk membersihkan meja. Dengan hati yang kecewa dan menaruh rasa iri pada Kafa, Fayyed membersihkan meja dengan raut kusut. Memang apa bagusnya Kafa daripada dirinya?

“Jangan cuma meja yang dibersihkan Fayyed. Kamu juga harus bersih.” Abah yang memang menunggui Fayyed bersih-bersihpun sesekali berkomentar.

Mungkin habis bersihin meja, saya disuruh mandi. Pikir Fayyed saat itu.

Saat dirasa sudah bersih, Fayyed menghentikan gerakan mengelap mejanya. “Sudah abah.” Ujarnya.

“Belum bersih.”

Fayyed segera membersihkan mejanya lagi.

“Masih kurang bersih Fayyed.”

Bingung sekali Fayyed, sudah dibersihkan sebersih mungkin. Apanya yang masih kotor?

“Mejanya sudah bersih tapi kamu yang kotor.”

Ah, Fayyed paham sekarang. “Iya abah, setelah ini saya akan mandi.”

Abah tertawa pelan mendengar itu. Pikir Fayyed tidak ada yang lucu. Ada apa? “Nak. Abah tidak menyuruh kamu mandi, abah bilang kamu kotor. Bukan tentang badan kamu. Tapi tentang hati kamu, batin kamu yang perlu dibersihkan. Bulan Ramadhan ini yang pintar-pintar menjaga hati. Karena hati itu jika tidak dijaga dan dibersihkan akan berbahaya. Ketempelan kotoran sedikit saja dampaknya sudah besar.”

“Menjadi imam tarawih itu bukan sesuatu yang istimewa. Yang istimewa itu jika kamu melakukannya dengan ikhlas. Percuma jika kamu tidak memiliki rasa ikhlas itu sendiri. Karena amal tanpa rasa ikhlas itu bagaikan patung yang belum dipahat.”

“Keikhlasan itu adalah mutiaranya amal, nak.”

Fayyed langsung terdiam mendengar itu. Dia teringat jika selama ini saat menjadi imam shalat tarawih ada hasrat untuk selalu ingin dipuji. Hatinya terenyuh seketika. Perasaan anatara malu dan takut terus bercampur aduk. Disaliminya tangan sang guru itu sambil tak henti Fayyed mengucapkan rasa syukur karena sudah diingatkan akan bahanya penyakit hati kotor dan tidak dibersihkan. Kini Fayyed sadar dan berjanji kepada dirinya sendiri untuk selalu membersihkan hatinya.

Oleh : Ivani Irtivaul Khusna

Artikel ini memiliki

0 Komentar

Tinggalkan Komentar