Biografi Singkat
Kiai Bisri Syansuri dilahirkan di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah, pada tanggal 23 agustus 1887 atau yang bertepatan dengan 05 Dzulhijjah 1304 dengan nama Mustajab. Nama Bisri tersemat kepada beliau setelah kepulangannya dari Tanah Mekkah. Ada yang mengatakan bahwa beliau lahir pada 28 Dzulhijjah 1304 H/ 18 September 1886. Beliau lahir dari pasangan suami istri yang bernama Syansuri bin Abdul Shomad dan Siti Rohmah. Ia merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.
Jika dilihat dari nasab ibunya, Kiai Bisri masih termasuk keluarga besar Kiai Kholil Kasingan Rembang dan Kiai Baidlowi Lasem. Keluarga ibunya adalah keluarga yang menurunkan beberapa orang ulama besar dalam beberapa generasi. Jadi beliau memang berasal dan tinggal di lingkungan yang berpegang teguh pada ajaran agama Islam. Hidup dilingkungan keluarga yang berpegang teguh pada ajaran agama membuat ia memiliki minat yang sangat besar untuk mendalami berbagai ilmu pengetahuan. Hal ini menjadikannya seorang santri yang berkelana mencari ilmu dari satu pondok ke pondok pesantren yang lain. Karena tradisi ini akhirnya Kiai Bisri bertemu dengan Kiai Wahab.
Kiai Bisri merupakan teman karib Kiai Wahab. Mereka bertemu pada saat mondok di pesantren Kademangan Madura. Persahabatan merekapun berlanjut sampai mereka menuntut ilmu di tanah suci Mekkah. Sampai-sampai saat ibu dan adiknya yang bernama Khodijah mengunjungi Mekkah Kiai Wahab berinisiatif untuk menjodohkan adiknya dengan Kiai Bisri. Tawaran itu pun disambut dengan sukacita oleh Kiai Bisri. Pernikahan dilangsungkan di tanah Makkah Al Mukarromah. Terjalinlah hubungan keluarga yang lebih dekat dari yang hanya sekedar teman antara Kiai Bisri dan Kiai Wahab. Setelah beberapa saat pernikahan mereka, Kiai Bisri dan Nyai Khadijah memutuskan pulang ke tanah air. Hal ini terjadi saat tahun 1914. Pada tahun 1958 Nyai Khodijah wafat, Kiai Bisri menikah lagi dengan Nyai Maryam Mahmud dari jember yang sudah memiliki anak satu bernama Arifin Khan.
Pada 19 Jumadil akhir 1400 yang bertepatan dengan 24 April 1980 Kiai Bisri menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu NU masih berada dalam tekanan orde baru. Beliau disemayamkan di Denanyar bersanding dengan pondok pesantren yang didirikannya.
Pendidikan
Ketika menginjak usia tujuh tahun, Kiai Bisri sudah mulai pengecap pendidikan keagamaan terutama membaca Al-Quran. Beliau berguru belajar Al-Quran kepada KH. Saleh, Tayu. Beliau berada di bawah bimbingan KH. Saleh selama dua tahun. Kemudian beliau berpindah guru kepada KH. Abdul Salam yang bertempat tinggal di Jawa Tengah. KH. Abdul Salam masih tercatat sebagai kerabatnya sendiri. KH. Abdul Salam merupakan seorang ulama besar yang mengasuh sebuah pondok di Desa Kajen yang bertempat sekitar delapan kilometer dari Tayu. Ditempat inilah Kiai Bisri mempelajari dasar-dasar tata bahasa arab, fikih, tauhid dan lain-lain.
Setelah itu, Kiai Bisri memohon restu untuk melanjutkan pendidikannya ke daerah Rembang. Di Rembang, beliau berguru pada Kiai Syuaib, Sarang, dan Kiai Kholil, Kasingan. Tepat saat berumur 15 tahun, Kiai Bisri memutuskan meneruskan pendidikannya ke pesantren Kademangan Bangkalan yang saat itu diasuh oleh Kiai Kholil bin Abdul Lathif. Kiai Kholil merupakan guru dari KH. Hasyim Asy’ari dan juga Kiai Wahab Hasbullah. Kiai Kholil memang terkenal sebagai ulama’ yang sangat alim dan memiliki pandangan yang tak kasat mata. Kiai Kholil juga merupakan ulama’ yang mempopulerkan pengajaran kitab alfiyah ibn malik. Kedalaman keimuan yang dimiliki Kiai Kholil terbukti dengan berhasilnya murid-muridnya menjadi seseorang yang mempunyai peran besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara seperti Kiai Hasyim, Kiai Wahab dan Kiai Bisri.
Sewaktu Kiai Kholil memerintahkan pada Kiai Wahab untuk melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Kiai Bisri juga mengikuti jejak Kiai Wahab untuk menyantri disana. Di Tebuireng Kiai Bisri menempuh pendidikannya selama 6 tahun sebelum memutuskan melanjutkan rihlahnya ke tanah suci Mekkah bersama dengan Kiai Wahab.
Saat di Mekkah, guru-guru Kiai Bisri tak ubahnya sama dengan guru Kiai Wahab. Guru-guru beliau diantaranya adalah Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudz Termas, Kiai Mukhtarom Banyuwangi, Kiai Bakir Jogja, Kiai Asyari Bawean, Syekh Abdul Hamid Dari Kudus, Syekh Syuaib Al Daghistani, Syekh Hasan Al Yamani, Syekh Ibrahim Al Yamani, Syekh Jamal Al Maliki.
Gaya Kepemimpinan
Kiai Bisri merupakan kiai yang mendalami salah satu spesialisasi bidang ilmu pengetahuan Islam walau tidak dipungkiri beliau menguasai beberapa cabang ilmu. Kiai Bisri merupakan kiai yang spesifikasi kedalaman ilmunya lebih pada ilmu fiqh walaupun ini tidak berarti bahwa beliau hanya menguasai keilmuan itu saja. Tapi pada bidang fiqh keilmuan beliau lebih menonjol.
Bahkan beliau memulai perjuangannya dengan menerapkan fiqh sosial pada kehidupan sehari – hari untuk mengundang ketertarikan masyarakat sekitar agar mengizinkan anak – anak mereka belajar agama. Beliau mengatur perekonomian kemasyarakatan melalui pengelolaan pertanian untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Supriadi menyatakan bahwa “KH. Bisri tidak ‘menyerang keluar’ melainkan menerima di tempat sendiri bagi mereka yang berkeinginan mengubah diri secara berangsur-angsur”.
Jika Kiai Wahab dikenal sebagai ulama yang berpegang pada kajian usul fiqh dan kaidah fiqhiyah, Kiai Bisri berbeda. Beliau lebih memilih untuk menggunakan produk/teks fiqh dalam prinsip hidupnya. Beliau lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan mengemukakan pendapat.
Dalam peristiwa pembentukan DPR Gotong Royong, Kiai Wahab yang saat itu menjabat sebagai rais ‘aam dan Kiai Bisri wakil rais ‘aam berseberangan pendapat. Kiai Bisri berpendapat bahwa DPR yang sah adalah DPR yang dipilih secara demokratis melalui pemilu 1995. Oleh karena itu, beliau beranggapan haram hukumnya NU bergabung dengan DPR Gotong Royong. Sedangkan Kiai Wahab berpandangan lebih terbuka, jika NU tidak masuk DPR Gotong Royong maka suara dan aspirasinya tidak bisa disuarakan dipemerintahan.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu dengan diangkatnya Kiai Bisri menjadi rais ‘aam NU, beliau mulai bersedia menjadi seseorang yang mau melihat permasalahan dari berbagai sudut. Pengambilan keputusan yang hanya berpegang teguh pada landasan fiqh saja beliau tinggalkan. Beliau banyak mengambil pendekatan-pendekatan yang dilakukan Kiai Wahab.
Kepemimpinan NU ditangan Kiai Bisri harus beradaptasi dengan masa pemerintahan orde baru. Saat itu, Kiai Bisri merasa harus berpandangan lebih terbuka dan tidak kaku. Apalagi melihat dinamika NU dan perpolitikan Indonesia semakin kompeks. Beliau tentu perlu mempertimbangkan kemaslahatan daripada hanya sekedar literature fiqhnya saja.
Kiai Bisri dijuluki sebagai kiai yang tegas berfiqih lentur bersikap. Tegas berfiqih menunjukkan bahwa beliau teguh berprinsip. Beliau tegas kepada diri sendiri dan lentur kepada orang umum. ketika ada seseorang yang bertanya tentang masalah-masalah kekinian beliau memberikan jawaban melihat dari siapa orang yang bertanya. Tidak serta merta langsung menjawab dengan nash iya atau tidak. Bersikap lentur bukan berarti beliau melanggar aturan fiqh.
Hubungan yang terjalin antara beliau dengan para santrinya sangatlah dekat, bahkan beliau aktif untuk menjalin silaturrahmi dengan mengunjungi murid dan koleganya selama menuntut ilmu mengikuti KH Hasyim Asyari.
Kiai Bisri juga merupakan Kiai yang inovatif. Dalam naungan kepemimpinan KH. Bisri Syansuri yang dipandang sebagai pakar ilmu fikih, muncullah terobosan baru untuk membuka kelas bagi santri perempuan belajar ilmu-ilmu keislaman. Hal ini menunjukkan bahwa beliau memperhatikan pembentukan generasi dengan menghilangkan rasa diskriminasi pada salah satu gender dengan tetap memegang teguh ajaran Islam. Pembentukan kelas perempuan oleh Kiai Bisri menjadi cikal bakal dari pembentukan pondok pesantren putri pertama yang ada di Nusantara, khususnya Jawa Timur.
KH. Ahmad Athoillah atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Aik pun menuturkan bahwa Kiai Bisri merupakan seorang ulama’ yang istiqamah untuk I’daadul mutafaqqihina fid din wa rijaalal islah (mempersiapkan generasi-generasi ahli agama dan tokoh-tokoh Gerakan perbaikan) melalui Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang.
Gus Aik juga berpendapat bahwa Kiai Bisri merupakan kiai yang menetapkan sesuatu pada tempatnya dan dapat memainkan peran dengan baik. Beliau terkadang otoriter, demokrasi atau bisa menyerahkan keputusan pada bawahan dengan tujuan kaderisasi. Tergantung pada kadar permasalahan dan situasi yang dihadapi.
Penulis : Izzatur Rahmah
Editor : Tim Jurnalistik Al Amanah0
Tinggalkan Komentar