“Huwal Habibulladi Tur Jasyafa ‘Atuhu Likulli Hawliminal Ahwali Muktahami,” suara qosidah itu menggema di penjuru ruangan. Bangunan bernuansa putih yang berdiri kokoh hampir tiga abad ini dipenuhi para santri yang berpakaian serba putih. Atmosfer kekhusu’an seolah hadir menyapa hingga menyelinap tumbuh pada hati yang sedang tak baik-baik saja. Langit menunjukkan bahwa sebentar lagi cahaya jingga akan tergantikan dengan datangnya rembulam malam. Ningrum semakin resah, ada dimana ia sekarang berdiri?
“Huh, mimpi itu hadir lagi. Apa maksud sebenarnya,” batin Ningrum yang baru saja bangun tidur. Ia masih saja tidur di waktu senja. Padahal sudah diperingatkan berulang kali oleh Mbah Putri bahwa tidur diwaktu surup itu tidak baik. Mau gimana lagi, gadis keturunan keraton itu terlanjur lelah karena seharian penuh menghabiskan waktunya untuk belajar menari.
“Nduk, lah bangun. Sebentar lagi adzan, Mbah mau berangkat ke masjid dulu ya. Sudah ditunggu sama- ibu-ibu disana,” ujar Mbah Putri pada Ningrum dengan senyum indah yang menghiasi wajah yang sudah tampak sepuh.
“Inggih, Mbah tapi kulo mimpi seperti yang kemarin lagi. Apa itu pertanda jika jalan hidup Ningrum selanjutnya ada di Pondok Pesantren?” Ningrum mengutarakan pada Mbah Putri tentang hal yang terjadi padanya akhir-akhir ini.
Mbah Putri seketika diam, ingin mengangguk akan tetapi berfikir sejenak. Semua ini juga demi masa depan cucu semata wayangnya, namun ia masih berat melepas Ningrum yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. “Jika memang itu yang terbaik, Mbah ridhoi Cah Ayu,” Mbah Putri dengan mantap mengatakan itu.
“Sudah nanti dirembug lagi ya. Mbah tak berangkat dulu. Selak dimulai acaranya,” pamit Mbah Putri yang segera bergegas pergi ke masjid. Biasanya setiap malam jum’at seperti ini Mbah Putri harus memimpin acara tahlilan ibu-ibu. Tanggung jawab turun-menurun dari trah keraton membuatnya harus siap untuk momong masyarakat.
Ningrum pun hanya bisa patuh, walau pikirannya belum juga tenang. “Ati-ati Mbah,” balas Ningrum seraya melambaikan tangan pada Mbah Putri. Perlahan bayangan Mbah Putri hilang dari jangkaun mata Ningrum.
Rumah begitu lenggang, esensi kebudayaan Jawa kental mendominasi gaya furtinur rumah Mbah Putri. Berdiri diantara pemukiman warga di daerah Kotagede Yogyakarta. Rumah ini peninggalan sesepuh Mbah Putri yang dibangun sejak zaman Hamengkubuono III. Halaman yang begitu luas dengan dua pohon sawo kecik menjulang kokoh sebagai kanopi alami. Meski jauh dari letak keraton, rumah yang hanya di huni Mbah Putri dan Ningrum seorang itu setiap hariya selalu dipenuhi tamu dari masyarakat sekitar dengan berbagai kegiatan sosial didalamnya.
* * *
Raden Roro Ningrum Mauliya gadis dengan lesung pipi yang begitu menawan, sejak kecil sudah ditinggal oleh Ayah Ibunya yang meninggal karena kecelakaan beruntun kereta api. Ketabahan Mbah Putrilah yang merawatnya sejak kecil. Dilahirkan sebagai trah Keraton membuatnya mengenal, merawat dan harus mempertahankan kebudayaan Jawa. Beruntung, ia masih menerima ilmu keagamaan dari Mbah Putri yang notabenya sebagai Guru agama di tengah masyarakat sekitar Keraton.
Menjadi perempuan yang harus mempertahankan kebudayaan Jawa, Ningrum sangat handal dalam perihal menari. Cucu semata wayang Mbah Putri itu, sejak kecil mengenyam pendidikan di sekolah formal umum. Bergaul dengan teman yang begitu beragam. Membuatnya mudah terpengaruh dengan pergaulan tak sehat remaja zaman sekarang. Mulai dari bau-bau hedonisme, hilangnya hormat pada yang lebih tua, pernikahan dini dan kejadian tak bermoral lainnya seolah-olah sudah menjadi konsumsi sehari-hari para remaja.
Mampukah Ningrum bertahan? Di gempuran serangkaian hal tadi. Mimpi tentang Pondok Pesantren yang selalu hadir pada tidurnyalah, membuat Ningrum semakin resah. Benarkah muara perjalanan hidupnya harus menjadi santri. Pertanyaan itu tak henti-hentinya memenuhi pikiran Ningrum.
***
Udara malam Yogyakarta begitu dingin hingga tubuh kecil Ningrum terasa menggigil. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Akan tetapi, Mbah Putri tak kunjung pulang membuat Ningrum semakin resah. Ia ingin pergi untuk menjemput. Namun, ketakutan mendominasi dirinya. Membayangkan seorang gadis sepertinya harus berjalan sendirian di tengah malam. Mau tidak mau, ia harus menunggu.
Sambil menunggu, Ningrum tak diam begitu saja. Ia memilih untuk menggali informasi lebih dalam tentang apa itu Pondok Pesantren, juga apa itu sejatinya seorang santri di gawainya. Ia membaca beberapa jurnal dan searching di internet. Semakin kesini, ia semakin bimbang. Pantaskah ia, mampukah ia menyandang gelar santri.
Seseorang yang ditunggu akhirnya datang juga. Iyah, Mbah Putri baru saja tiba. “Loh kok masih nunggu toh Nduk, tak kira sudah tidur. Maaf Mbah lama. Soalnya tadi kerawuhan Kiai Sholeh,” kata Mbah Putri dengan duduk di kursi bersebalahan dengan Ningrum. Meskipun sudah sepuh kecantikan Mbah Putri tak berkurang sedikitpun.
“Hehe, njih Mbah. Mboten nopo,” ujar Ningrum dengan menghembuskan nafas. Dia sudah terbiasa menunggu Mbah Putri yang terkadang pulang larut malam karena harus hadir di kegiatan rutin dengan masyarakat.
“Pripun Mbah, haruskah kulo pergi mondok?” Pertanyaan yang sejak tadi ingin diutarakan pada Mbah Putri akhirnya Ningrum tanyakan.
“Jika dirimu sudah yakin, berangkatlah Nduk. Toh, disana kamu akan mendalami ilmu agama lebih dalam lagi.”
“Akan tetapi kulo ragu Mbah, masih merasa belum pantas menjadi santri,” Ningrum masih saja bimbang.
“Sudah ngak perlu ragu lagi. Kalau mau melakukan perkara yang baik itu harus mantep, Nduk. Kamu bisa mengaplikasikan pitutur memayu hayuning bawana versi Pondok Pesantren. Mbah juga sudah matur ke Kiai sholeh tadi. Nek kamu itu akan nyantri disana. Cah ayu, sekarang tergantung dirimu sendiri seng yakin, seng mantep ing qolbu. Besok kamu sudah bisa berangkat ke Kudus, ke pondoknya Kiai Sholeh. Biar Mbah Putri yang ngatur semuanya.”
Pitutur Mbah Putri membuat Ningrum yakin. Ini sudah jalan hidupnya. Pergaulan di zaman yang semakin tak beretika harus Ningrum tinggalkan. Dia harus ngangsu kaweruh di Pondok Pesantren. Niat Ningrum harus kuat, intinya harus mantep ing qolbu.
“Nggeh Mbah, bismillah kulo yakin. Besokpun kulo tak berangkat ke Kudus.” tekad Ningrum sudah bulat. Besok jua ia akan pergi meninggalkan semua yang ia cinta, Mbah Putri, teman-teman juga Yogyakarta dan segala kenangannya. Tak apa, itu hanya singgah sementara demi masa depan yang amat berharga.
Kini, perjalanan Ningrum akan ada yang lebih baru. Menyiapkan diri menjadi umat yang berguna bagi bangsa juga agama. Menjadi seorang santri sejati.
Selamat Hari Santri Nasional 2023
Jihad Santri, Jayakan Negeri
Oleh: Nazwa Aghnia
Tinggalkan Komentar